“Berusaha
mengerti terlebih dahulu” memerlukan prubahan paradigma yang sangat mendalam.
Kita biasanya berusaha lebih dahulu untuk di mengerti. Kebanyakan oranag tidak
mendengarkan maksud untuk mengerti, mereka mendengar dengan maksud untuk
menjawab. Mereka entah berbicara atau bersiap untuk berbicara. Mereka menyaring
segala melalui paradigma mereka sendiri, membacakan autobiografi mereka ke
dalam kehidupan orang lain.
“Oh,
saya tahu persis bagaimana perasaan anda!”
“Saya
pernah mengalami hal yang sama. Biar saya yang menceritakan kepada anda
pengalam saya.”
Mereka
terus menerus memproyeksikan film buatan sendiri pada pada perilaku orang lain.
Mereka memberi resep kacamata mereka sendiri kepada semua orang yang
berinteraksi dengan mereka
Jika
mereka mempunyai masalah dengan seseorang putra, putri, pasangan, karyawan,
sikap mereka adalah, “Orang itu benar-benar tidak mengerti
Seorang
tetangga pernah berkata kepada ayah saya, “Saya tidak bisa mengerti anak saya.
Ia benar-benar tidak mau mendengar saya.”
“Biar
saya menyatakan ulang apa yang baru saja anda katakan,” jawab ayah saya. “Anda
tidak mengerti anak anda karena ia tidak mau mendengarkan anda?”
“benar,”
jawabnya
“Biar
saaya coba lagi,” ayah saya melanjutkan. “Anda tidak mengerti anak anda karena ia tidak mau mendengarkan anda ?”
“Itu
yang saya katakan tadi,” ia menjawabnya dengan tidak sabar.
“Saya
kira untuk mengerti orang lain, anda perlu mendengarkannya,” ayah saya
mengusulkan.
“Oh!”
katanya. Ada jea yang lumayan panjang. “Oh!” katanya lagi, ketika kesadaran
mulai muncul. “Oh, ya! tapi saya sangat mengerti dirinya. Saya tahu apa yang ia
alami. Saya sendiri pernah mengalami hal yang sama. Saya kira yang tidak saya
mengerti adalah mengapa ia tiadak mau mendengarkan saya.”
Orang
ini tidak memiliki gagasan sedikit pun tentang apa yang sebenarnya berlangsung
dalam benak anaknya. Ia melihat ke dalam kepalanya sendiri dan mengira ia
melihat dunia, termasuk anaknya.
Begitulah
yang terjadi dengan banyak orang. Kita di penuho dengan kebenaran kita sendiri,
autobiografi kita sendiri. Kita ingin di mengerti percakapan kita menjadi
monolog kolektif, dan kita tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang
berlangsung dalam diri orang lain
Ketika
orang lain berbicara, kita biasanya “mendengarkan” dala salah satu dari empat
tingkat. Kita mungkin mengabaikan
orang itu, tidak benar-benar mendengarkannya. Kita mungkin berpura-pura. “Ya hmm. Benar.” Kita mungkin mendengarkan secara selektif, mendengar hanya bagian-bagian
tertentu dari percakapan. Kita sering melakukan ini sewaktu mendengar celoteh
terus menerus dari anak persekolahan. Atau kita mungkin mendengarkan secara atentif, menaruh perhatian dan memfokuskan
energi pada kata-kata yang di ucapkan. Tetapi sedikit sekali dari kita pernah
memperaktekan tingkat ke lima, bentuk tertinggi dari mendengarkan, yaitu mendengar dengan empatik.
UNIVERSITAS GUNADARMA
http://www.gunadarma.ac.id/
http://studentsite.gunadarma.ac.id
http://www.gunadarma.ac.id/
http://studentsite.gunadarma.ac.id
No comments:
Post a Comment