Ayah
saya pernah mempunyai seorang teman yang menjabat sebagai rektor sebuah
universitas yang sangat bergengsi. Ia merencanakan dan menabung selama
bertahun-tahun untuk memberi putranya kesempatan berkuliah di sana, tetapi
ketika waktunya tiba, putranya ini menolak.
Hal
ini membuat ayahnya sangat perihatin. Lulus dari institut ini akan menjadi aset
yang besar bagi si anak. Selain itu, ini merupakan tradisi keluarga. Tiga
generasi sudah berkuliah di sana sebelum si anak. Ayahnya memohon, mendesak dan
membujuk. Ia juga berusaha mendengarkan si anak untuk memahaminya, sambil terus
berharap putranya berubah pikiran.
Pesan
samar yang di komunikasikan adalah kasih bersyarat. Putranya merasa sedikit
banyak keinginan ayahnya agar ia berkuliah di sana melebihi nilai yang ayahnya
berikan atas dirinya sebagai pribadi dan sebagai anak. Dan hal ini terasa
sangat mengancam. Akibatnya, ia memperjuangkan identitas dan integrasinya
sendiri, dan ia meningkatkan usahanya untuk memutuskan dan merelasionalisasikan
keputusannya untuk tidak berkuliah di sana.
Sesudah
pendalaman jiwa yang intens, si ayah memutuskan untuk berkorban untuk
melepaskan cinta bersyaratnya. Ia tahu bahwa putranya mungkin mempunyai pilihan
yang berbeda dengan yang ia harapkan meskipun begitu, ia dan istrinya
memutuskan untuk mengasihi putra mereka tanpa syarat, lepas dari pilihanya,.
Ini merupakan hal yang sangat sulit di lakukan karena nilai dari pengalaman
pendidikan anak ini begitu dekat dengan hati mereka dan karena ini merupakan
sesuatu yang sudah mereka usahakan dan perjuangkan sejak kelahiran putra
mereka.
Ayah
dan ibunya menjalani proses penulisan ulang naskah yang sangat sulit, berusaha
untuk benar-benar mengerti sifat dari kasih tanpa syarat. Mereka mengkomunikasikan
kepada anak mereka apa yang mereka kerjakan dan alasanya, dan mengatakan
kepadanya bahwa mereka sampai pada titik
di mana mereka dapat mengatakan secara benar-benar jujur bahwa keputusan tidak
akan mempengaruhi rasa kasih tanpa syarat mereka kepadanya, mereka tidak
melakukan hal ini untuk memanipulasinya, untuk mencoba memebentuknya. Mereka
melakukan ini sebagai perpanjangan logis dari pertumbuhan dan karakter mereka.
Anak
ini tidak memberikan banyak respons saat itu, tetapi orang tuanya memiliki
paradigma kasih tanpa syarat sedemikian rupa pada titik itu sehingga hal itu
tidak membuat perbedaan apa pun dalam perasaan mereka kepadanya. Kira-kira
seminggu kemudian, ia mengatakan kepada
orang tuanya bahwa ia sudah memutuskan untuk tidak pergi. Mereka sudah
siap sepenuhnya mendengar jawabannya dan terus perlihatkan kasih tanpa syarat
kepadanya. Segalanya beres dan kehidupan berjalan normal.
Tidak
lama kemudian, suatu hal menarik terjadi. Setelah si anak tidak lagi merasa ia
harus membela posisinya, ia mencari dalam dirinya secara lebih dalam dan
menemukan bahwa ia sebenarnya memang ingin memperoleh pengalam pendidikan di
universitas tersebut. Ia mendaftar, dan kemudian mengatakannya kepada ayahnya,
yang kembali memperlihatkan kasih tanpa syarat dengan menerima sepenuhnya
keputusan anaknya, Teman saya bahagia, tetapi tidak telalu berlebihan, karena
ia telah belajar untuk mengasihi tanpa syarat.
UNIVERSITAS GUNADARMA
http://www.gunadarma.ac.id/
http://studentsite.gunadarma.ac.id
http://www.gunadarma.ac.id/
http://studentsite.gunadarma.ac.id
No comments:
Post a Comment