Sunday, November 17, 2013

HUKUM KASIH DAN HUKUM KEHIDUPAN


             Ayah saya pernah mempunyai seorang teman yang menjabat sebagai rektor sebuah universitas yang sangat bergengsi. Ia merencanakan dan menabung selama bertahun-tahun untuk memberi putranya kesempatan berkuliah di sana, tetapi ketika waktunya tiba, putranya ini menolak.
            Hal ini membuat ayahnya sangat perihatin. Lulus dari institut ini akan menjadi aset yang besar bagi si anak. Selain itu, ini merupakan tradisi keluarga. Tiga generasi sudah berkuliah di sana sebelum si anak. Ayahnya memohon, mendesak dan membujuk. Ia juga berusaha mendengarkan si anak untuk memahaminya, sambil terus berharap putranya berubah pikiran.
            Pesan samar yang di komunikasikan adalah kasih bersyarat. Putranya merasa sedikit banyak keinginan ayahnya agar ia berkuliah di sana melebihi nilai yang ayahnya berikan atas dirinya sebagai pribadi dan sebagai anak. Dan hal ini terasa sangat mengancam. Akibatnya, ia memperjuangkan identitas dan integrasinya sendiri, dan ia meningkatkan usahanya untuk memutuskan dan merelasionalisasikan keputusannya untuk tidak berkuliah di sana.
            Sesudah pendalaman jiwa yang intens, si ayah memutuskan untuk berkorban untuk melepaskan cinta bersyaratnya. Ia tahu bahwa putranya mungkin mempunyai pilihan yang berbeda dengan yang ia harapkan meskipun begitu, ia dan istrinya memutuskan untuk mengasihi putra mereka tanpa syarat, lepas dari pilihanya,. Ini merupakan hal yang sangat sulit di lakukan karena nilai dari pengalaman pendidikan anak ini begitu dekat dengan hati mereka dan karena ini merupakan sesuatu yang sudah mereka usahakan dan perjuangkan sejak kelahiran putra mereka.
            Ayah dan ibunya menjalani proses penulisan ulang naskah yang sangat sulit, berusaha untuk benar-benar mengerti sifat dari kasih tanpa syarat. Mereka mengkomunikasikan kepada anak mereka apa yang mereka kerjakan dan alasanya, dan mengatakan kepadanya  bahwa mereka sampai pada titik di mana mereka dapat mengatakan secara benar-benar jujur bahwa keputusan tidak akan mempengaruhi rasa kasih tanpa syarat mereka kepadanya, mereka tidak melakukan hal ini untuk memanipulasinya, untuk mencoba memebentuknya. Mereka melakukan ini sebagai perpanjangan logis dari pertumbuhan dan karakter mereka.
            Anak ini tidak memberikan banyak respons saat itu, tetapi orang tuanya memiliki paradigma kasih tanpa syarat sedemikian rupa pada titik itu sehingga hal itu tidak membuat perbedaan apa pun dalam perasaan mereka kepadanya. Kira-kira seminggu kemudian, ia mengatakan kepada  orang tuanya bahwa ia sudah memutuskan untuk tidak pergi. Mereka sudah siap sepenuhnya mendengar jawabannya dan terus perlihatkan kasih tanpa syarat kepadanya. Segalanya beres dan kehidupan berjalan normal.
            Tidak lama kemudian, suatu hal menarik terjadi. Setelah si anak tidak lagi merasa ia harus membela posisinya, ia mencari dalam dirinya secara lebih dalam dan menemukan bahwa ia sebenarnya memang ingin memperoleh pengalam pendidikan di universitas tersebut. Ia mendaftar, dan kemudian mengatakannya kepada ayahnya, yang kembali memperlihatkan kasih tanpa syarat dengan menerima sepenuhnya keputusan anaknya, Teman saya bahagia, tetapi tidak telalu berlebihan, karena ia telah belajar untuk mengasihi tanpa syarat.


UNIVERSITAS GUNADARMA
http://www.gunadarma.ac.id/
http://studentsite.gunadarma.ac.id
 


No comments:

Post a Comment