Dalam debat capres
pertama ini ada beberapa catatan yang menarik. Pertama, tema “Pembangunan
Demokrasi Pemerintahan Yang Bersih Dan Kepastian Hukum” debat kali ini tema
yang menguntungkan Jokowi-JK. Jokowi berpengalaman menjadi kepala daerah dan JK
berpengalaman menjadi wakil presiden. Dalam debat ini terlihat bagaimana Jokowi
fasih berbicara, tidak hanya tentang visi misi, tetapi juga strategi kongkrit
untuk mengatasi persoalan. Ketika ditanya tentang tidak sinkronnya kebijakan
pusat dan daerah, Jokowi menjawab dengan mudah bahwa masalahnya terdapat di
politik anggaran. Begitu juga pertanyaan terkait pemilukada.
Sebaliknya, tema ini kurang menguntungkan kubu
Prabowo-Hatta. Walaupun Hatta tampil sangat baik dalam menjawab dan menguraikan
persoalan, waktu sering kali lebih didominasi Prabowo yang banyak berbicara
tentang retorika. Selain itu, tema terkait kepastian hukum akan menyudutkan
Prabowo terkait peristiwa 1998.
Kedua, pertanyaan yang dilontarkan masing-masing
kandidat tidak seimbang. Pertanyaan dari Prabowo terkait pemilukada yang
menelan biaya besar sampai 13 trilyun, sangat mudah dijawab oleh Jokowi yang telah
sembilan tahun menjadi kepala daerah. Parahnya lagi, jawaban Jokowi-Hatta bukan
dibalikkan oleh Hatta yang justru malah mengamini jawaban kubu seberang. Pada
pertanyaan terkait syarat dan kriteria pemekaran, Prabowo justru memberikan
kata-kata kunci seperti jumlah penduduk, luas wilayah, kemampuan ekonomi
daerah, yang membantu Jokowi menjawabnya.
Sebaliknya, JK menanyakan pertanyaan yang menohok
Prabowo terkait pelanggaran HAM yang sudah menjadi kampanye negatif sejak awal
deklarasi. Pertanyaan yang sama sudah diajukan moderator dalam format yang lain
yang tidak dijawab Prabowo. Sayangnya, Prabowo terlihat emosional menjawab
pertanyaan “mudah” ini. Suaranya bergetar cukup terasa sehingga Jokowi
meredamnya dengan mengatakan Prabowo terlalu bersemangat. Pertanyaan terkait
HAM untuk Prabowo adalah pertanyaan yang sudah diajukan ratusan kali dan hampir
pasti akan diajukan dalam debat capres. Seharusnya, Prabowo dapat dengan mudah
menjawab pertanyaan ini. Untungnya, Prabowo tampak cepat kembali menurunkan emosinya
ke level normal.
Ketiga, Jokowi terlihat lebih melakukan persiapan
dibandingkan Prabowo. Bahkan, terlihat jelas bagaimana “contekan” Jokowi
terpampang cukup lama diluar jasnya. Belakangan ramai di twitter yang
mengatakan itu adalah contekan doa Jokowi dari ibu, padahal ukuran kertasnya
terlihat berbeda. Pada sesi terakhir saat pidato penutup, Jokowi bahkan membaca
baris demi baris kertas contekannya. Sebaliknya, tim Prabowo kurang bisa
menghadirkan pertanyaan yang “menggigit” untuk kubu Jokowi. Salah satu blunder
terbesar Prabowo ketika dia mengatakan akan kembali ke UUD tgl 18 Agustus 1945.
Hal ini jelas mencederai semangat reformasi. UUD sebelum amandemen pernah
digunakan Sukarno tahun 1959-1965 dan Suharto 1966-1998 untuk menjalankan
pemerintahan otoriter.
Prabowo sebenarnya punya keunggulan potensial
dibandingkan Jokowi. Dengan basis pendidikan modern, seperti terlihat di
berbagai wawancara dalam Bahasa Inggris dan Indonesia, Prabowo lebih bisa
menyajikan gagasannya secara lebih terstruktur dan komprehensif dibanding
Jokowi. Sejak masih muda, Prabowo sudah dilatih untuk berbicara di depan
publik, misalnya sejak berpangkat letnan dua pada usia 20an, Prabowo sudah
berbicara dengan anak buahnya yang pangkatnya lebih rendah, paling tidak dalam
apel-apel rutin. Pada saat itu, Jokowi masih sibuk dengan amplas, meja dan
kursi.
Potensi dan kelebihan Prabowo inilah yang harusnya
ditonjolkan dalam debat capres yang menjadi puncak bagi seluruh perjuangan
politiknya selama ini. Sayangnya, modal dasar Prabowo seperti kurang muncul
dalam debat pertama.
Jokowi sadar betul dengan kelemahannya yang tampil
kurang meyakinkan di depan publik dan mendengarkan nasihat tim kampanyenya
secara mendalam. Dia dan JK cukup efektif berbagi peran. JK menjadi penyerang
Prabowo yang efektif sementara Jokowi lebih bertugas memaparkan ide dan
gagasan.
Hanya saja, kampanye masih panjang. Materi debat
tentang Ekonomi atau Ketahanan Nasional mungkin akan lebih menguntungkan
Prabowo-Hatta karena pengalaman Prabowo di militer dan Hatta di ekonomi makro.
Satu hal yang pasti, debat capres bukan hanya tentang bagaimana performa dan
kapasitas individual pasangan capres dan cawapres tetapi juga memperlihatkan
kesolidan tim kampanye masing-masing pasangan.